Perkembangan Nilai, Moral, Dan sikap


MAKALAH PESERTA DIDIK : PERKEMBANGAN NILAI, MORAL DAN SIKAP

  1. Pengertian Nilai, Moral, dan Sikap

            Ada tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja.

  1. Nilai

Dalam kamus bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian. Adapun menurut Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. 

Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah “ roh subjektif” (subjective spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya merupakan “roh objektif” (objevtive spirit). Roh objektif akan berkembang manakala didukung oleh roh subjektif, sebaliknya roh subjektif terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh objektif yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai.

Menurut Harrocks, Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai.

Dalam buku psikologi perkembangan peserta didik oleh Prof. Sinolungan mengatakan nilai adalah suatu yang diyakini kebenarannya, dipercayai dan dirasakan kegunaannya, serta diwujudkan dalam sikap atau perilakunya. Jadi, nilai bersifat normatif, suatu keharusan yang menuntut diwujudkan dalam tingkah laku, misalnya nilai kesopanan dan kesederhanaan. Misalnya, seseorang yang selalu bersikap sopan santun akan selalu berusaha menjaga tutur kata dan sikap sehingga dapat membedakan tindakan yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut.

Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Nilai merupakan standar konseptual yang relatif stabil dan emplisit membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.

Spranger menggolongkan nilai itu kedalam enam jenis, yaitu:

  1. Nilai teori atau nilai keilmuan (I)

Mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang yang bekerja terutama atas dasar pertimbangan rasional.

  1. Nilai ekonomi (E)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang atas dasar pertimbangan ada tidaknya keuntungan finansial sebagai akibat dari perbuatannya.

  1. Nilai sosial atau nilai solidaritas (Sd)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang terhadap orang lain tanpa menghiraukan akibat yang mungkin timbul terhadap dirinya sendiri, baik berupa keberuntungan atau ketidakberuntungan.

  1.  Nilai agama (A)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atas dasar pertimbangan kepercayaan bahwa sesuatu itu dipandang benar menurrut ajaran agama.

  1.  Nilai seni (S)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau kelompok atas dasar pertimbangan rasa keindahan atau rasa seni yang terlepas dari berbagai pertimbangan material.

  1. Nilai politik atau nilai kuasa (K)

Suatu nilai yang mendasari perbuatan seseorang atau kelompok orang atas dasar pertimbangan baik buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya. 



  1. Moral        

Istilah moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam kehidupannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai anggota sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.

Perubahan pokok dalam moralitas selama masa remaja terdiri dari mengganti konsep-konsep moral khusus dengan konsep-konsep moral tentang benar dan salah yang bersifat umum, membangun kode moral berdasarkan pada prinsip-prinsip moral individual, dan mengendalikan perilaku melalui perkembangan hati nurani.

Tokoh yang paling terkenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlbert (1995). Berdasarkan penelitiannya, Kohlbert (1995) menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut:

  1. penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional.
  2.  Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya.
  3.  Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.

  • Ø Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:

  1. Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
  2. Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kodeprilaku.
  3. Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.

  • Ø Tahap-tahap perkembangan moral yang sangat dikenal diseluruh dunia adalah yang dikemukakan oleh Lawrence E. Kohlbert (1995), yaitu sebagai berikut:



  1. Tingkat Prakonvensional

        Tingkat prakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu/anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya baik berupa sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan.

Tingkat prakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:

     Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan

Pada tahap ini, akibat-akibat fisik pada perubahan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghidari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.

     Tahap 2: Orientasi relativis-instrumental

Pada tahap ini, perbuatan dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia diipandang seperti huubungan di pasar yang berorientasi pada untung-rugi.

  1. Tingkat Konvensional

        Tingkat konvensional atau konvensional awal adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat.

Tingkat konvensional memiliki dua tahap, yaitu:

Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau desebut orientasi “Anak Manis”

Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka.

Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban

Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menhormati otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial yang ada. Semua ini dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.





  1. Tingkat Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan Prinsip

        Tingkat pascakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut.

Tingkat pascakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:

Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalitas

Pada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada utilitarian. Artinya perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai dengan relativisme nilai tersebut. Terdapat penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan hak adalah masalah nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas, dan kontrak merupakan unsur pengikat kewajiban .

Tahap 6: Orientasi prinsip dan etika universal

Pada tahap ini, hak ditentukan oleh suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsestensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan moral konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas, persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi.

Berdasarkan tingkatan dan tahapan perkembangan moral, kohlberg (1995) menerjemahkannya ke dalam motif-motif individu dalam melakukan perbuatan moral. Sesuai dengan harapan perkembangan moral, motif-motif perilaku moral manusia adalah sebagai berikut:

Tahap 1: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukuman dan suara hati yang pada dasarnya merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman.

Tahap 2:Perbuatan moral individu dimotivasikan oleh keinginan untuk mendapat ganjaran dan keuntungan. Sangat boleh jadi reaksi rasa bersalah diabaikan dan hukuman dipandang secara pragmatis (membedakan rasa takut, rasa nikmat, atau rasa sakit dari akibat hukuman).

Tahap 3: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang lain, baik yang nyata atau yang dibayangkan secara hipotesis.

Tahap 4: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan yang   mendalam karena kegagalan dalam melaksanakan kewajiban dan rasa bersalah diri atas kerugian yang dilakukan terhadap orang lain.

Tahap 5:Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap upaya mempertahankan rasa hormat terhadap orang lain dan masyarakat yang didasarkan atas akal budi dan bukan berdasarkan emosi , keprihatinan terhadap rasa hormat bagi diri sendiri (misalnya, untuk menghindari sikap menghakimi diri sendiri sebagai makhluk yang tidak rasional, tidak konsisten, dan tanpa tujuan).

Tahap 6:Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap sikap mempersalahkan diri karena melanggar prinsip-prinsipnya sendiri. Individu cenderung membedakan rasa hormat dari diri sendiri. Selain itu juga dibedakan antara rasa hormat terhadap diri karena mencapai rasionalitas dan rasa hormat terhadap diri sendiri karena mampu mempertahankan prinsip-prinsip moral.



  1. Sikap

Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten yang mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan respons dalam bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respons reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau situasi.

Menurut Chaplin (1981) dalam Dictionary of Psychology menyamakan sikap dengan pendirian. Chaptin menegaskan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat kultural, familiar, dan personal. Artinya, kita cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap itu akan berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu, selaku tempat individu dibesarkan. Jadi, ada semacam sikap kolektif (collective attitude) yang menjadi stereotipe sikap kelompok budaya masyarakat tertentu. Sebagian besar dari sikap itu berlangsung dari generasi ke generasi di dalam struktur keluarga. Akan tetapi, beberapa darin tingkah laku individu juga berkembang selaku orang dewasa berdasarkan pengalaman individu itu sendiri. Para ahli psikologi sosial bahkan percaya bahwa sumber-sumber penting dari sikap individu adalah propaganda dan sugesti dari penguasa-penguasa, lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya yang secara sengaja diprogram untuk mempengaruhi sikap dan perilaku individu.

Stephen R. Covey mengemukakan tiga teori determinisme yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:

  1. Determinisme genetis (genetic determinism): berpandangan bahwa sikap individu diturunkan oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap dan tabiat seperti sikap dan tabiat nenek moyangnya.
  2. Determinisme psikis (psychic determinism): berpandangan bahwa sikap individu merupakan hasil pelakuan, pola asuh, atau pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya.
  3. Determinism lingkungan (environmental determinism): berpandangan bahwa perkembangan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu itu tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut. Bagaimana atasan/pimpinan memperlakukan kita, bagaimana pasangankita memperlakukan kita, situasi ekonomi, atau kebijakan-kebijakan pemerintah, semuanya membentuk perkembangan sikap individu.

Sikap merupakan salah satu aspek psikologi individu yang sangat penting karena sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun jenisnya sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek sikap dalam kehidupan individu, mendorong para psikolog untuk mengembangkan teknik dan instrumen untuk mengukur sikap manusia. Beberapa tipe skala sikap telah dikembangkan untuk mengukur sikap individu, kelompok, maupun massa untuk mengukur pendapat umum sebagai dasar penafsiran dan penilaian sikap.

Dari beberapa teknik atau skala sikap yang dapat digunakan, ada dua skala sikap yang utama dan dikenal sangat luas, yaitu:

  1. Skala Likert

            Dalam skala ini disajikan satu seri pertanyaan-pertanyaan sederhana. Kemudian responden diukur sikapnya untuk menjawab dengan cara memilih salah satu pilihan jawaban yang telah disediakan. Yaitu:

  1. Sangat setuju
  2. Setuju
  3.  Ragu-ragu/netral
  4. Tidak setuju, dan
  5. Sangat tidak setuju.
  6. Skala Thurstone

Dalam skala ini terdapat sejumlah pernyataan derajat-derajat kekuatan yang berbeda-beda dan responden/subjek yang bersangkutan dapat menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Butir-butir pernyataannya dipilih sedemikian rupa sehingga tersusun sepanjang satu skala interval-sama, dari yang sangat menyenangi sampai yang sangat tidak menyenangkan.



  1. Perkembangan Nilai, Moral dan Sikap

Menurut Danel Susanto, pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja biasanya ditandai oleh beberapa perubahan-perubahan, seperti dibawah ini:

  1. Perubahan fisik

Pada masa remaja terjadi pertumbuhan fisik yang cepat dan proses kematangan seksual. Beberapa kelenjar yang mengatur fungsi seksualitas pada masa ini telah mulai matang dan berfungsi. Disamping itu tanda-tanda seksualitas sekunder juga mulai nampak pada diri remaja.

  1. Perubahan intelek

Menurut perkembangan kognitif yang dibuat oleh Jean Piaget, seorang remaja telah beralih dari masa konkrit-operasional ke masa formal-operasional. Pada masa konkrit-operasional, seseorang mampu berpikir sistematis terhadap hal-hal atau obyek-obyek yang bersifat konkrit, sedang pada masa formal operasional ia sudah mampu berpikir se-cara sistematis terhadap hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotetis. Pada masa remaja, seseorang juga sudah dapat berpikir secara kritis.

  1. Perubahan emosi

Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil. Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock menyatakan bahwa pengaruh lingkungan sosial terhadap per-ubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan pengaruh hormonal.

  1. Perubahan sosial

Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap bukan lagi anak-anak. Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat sehingga menyerupai orang dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan bertingkahlaku seperti orang dewasa. Pada masa remaja, seseorang cenderung untuk meng-gabungkan diri dalam ‘kelompok teman sebaya’. Kelompok so-sial yang baru ini merupakan tempat yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Menu-rut Y. Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa, kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkahlaku dan melakukan hubungan sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi “overacting’ dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak.

  1. Perubahan moral

Pada masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkahlaku moral: dari luar menjadi dari dalam. Pada masa ini terjadi juga perubahan dari konsep moral khusus menjadi prinsip moral umum pada remaja. Karena itu pada masa ini seorang remaja sudah dapat diharapkan untuk mempunyai nilai-nilai moral yang dapat melandasi tingkahlaku moralnya. Walaupun demikian, pada masa remaja, seseorang juga mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini dapat dikatakan wajar, sejauh kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari moraliatas yang berlaku, tidak terlalu merugikan masyarakat, serta tidak berkelanjutan setelah masa remaja berakhir.



Ada lima pendekatan dalam penanaman nilai yakni:

  1. Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach),

Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.

  1. Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach),

Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989).

Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).

Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut:

  1. Tahap “premoral” atau “preconventional”. Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial;
  2. Tahap “conventional”. Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
  3. Tahap “autonomous”. Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.

Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka

  1. Pendekatan analisis nilai (values analysis approach),

Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan.

  1. Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach),

Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.

  1. Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) (Superka, et. al. 1976).

Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.

Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan “moral reasoning” dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis.



  1. Hubungan antara Nilai, Moral, dan Sikap

         Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predikposisi atau kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu objek atau sekumpulan objek bebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yan dimiliki individu akan menentukan perilaku mana yang harus dilakukan dan yang harus dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap dan perilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya.

Bagi Sigmund Freud (Gerald Corey, 1989), yang telah menjelaskan melalui teori Psikoanalisisnya, antara nilai, moral, dan sikap adalah satu kesatuan dan tidak dibeda-bedakan. Dalam konsep Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari tiga, yaitu:

  1. Id atau Das Es
  2. Ego atau Das Ich
  3.  Super Ego atau Da Uber Ich.

         Id berisi dorongan naluriah, tidak rasional, tidak logis, tak sadar, amoral, dan bersifat memenuhi dorongan kesenangan yang diarahkan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan dan menghindari kesakitan. Ego merupakan eksekutif dari kepribadian yang memerintah, mengendalikan dan mengatur kepribadian individu. Tugs utama Ego adalah mengantar dorongan-dorongan naluriah dengan kenyataan yang ada di dunia sekitar. Superego adalah sumber moral dalam kepribadian. Superego adalah kode moral individu yang tugas utamanya adalah mempertimbangkan apakah suatu tindakan baik atau buruk, benar atau salah. Superego memprestasikan hal-hal yang ideal bukan hal-hal yang riil, serta mendorong ke arah kesempurnaan bukan ke arah kesenangan.

         Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu dalam superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral. Ini dapat terjadi karena superego yang sudah berkembang dengan baik dapat mengontrol dorongan-dorongan naluriah dari id yang bertujuan untuk memenuhi kesenangan dan kepuasan. Berkembangnya superego dengan baik, juga akan mendorong berkembang kekuatan ego untuk mengatur dinamika kepribadian antara id dan superego, sehingga perbuatannya selaras dengan kenyataannya di dunia sekelilingnya.



  1. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja.

Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode penting dalam pembentukan nilai. Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang.

Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak hanya lagi terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka. Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggap sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggujawabkan secara pribadi.

Tingkat perkembangan fisik psikis yang dicapai remaja berpengaruh pada perubahan sikap dan perilakunya. Perubahan sikap yang cukup menyolok dan ditempatkan sebagai salah satu karakter remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua atau orang dewasa lainnya. Apabila kalau orang tua dan orang dewasa berusaha memaksakan nilai-nilai yang dianutnya kepada remaja. Sikap menentang pranata adat kebiasaan yang ditunjukkan oleh para remaja merupakan gejala wajar yang terjadi sebagai untuk kemampuan berfikir kritis terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam realitas. Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat sementara dan akan berubah serta berkembang ke arah moralitas yang lebih matang dan mandiri.



  1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap individu yang tumbuh dan berkembang di dalam dirinya.

  1. Lingkungan Keluarga

Keluarga sebagai lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap seseorang. Biasanya tingkah laku seseorang berasal dari bawaan ajaran orang tuanya. Orang-orang yang tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar mereka tidak mampu mengembangkan superegonya sehingga mereka bias menjadi orang yang sering melakukan pelanggaran norma.

  1. Lingkungan Sekolah

Di sekolah, anak-anak mempelajari nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat sehingga mereka juga dapat menentukan mana tindakan yang baik dan boleh dilakukan. Tentunya dengan bimbingan guru. Anak-anak cenderung menjadikan guru sebagai model dalam bertingkah laku, oleh karena itu seorang guru harus memiliki moral yang baik.





  1. Lingkungan Pergaulan

Dalam pengembangan kepribadian, factor lingkungan pergaulan juga turut mempengaruhi nilai, moral dan sikap seseorang. Pada masa remaja, biasanya seseorang selalu ingin mencoba suatu hal yang baru. Dan selalu ada rasa tidak enak apabila menolak ajakan teman. Bahkan terkadang seorang teman juga bisa dijadikan panutan baginya.

  1. Lingkungan Masyarakat

Masyarakat sendiri juga memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya control dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri untuk pelanggar-pelanggarnya.

  1. Teknologi

Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap terwujudnya suatu nilai. Di era sekarang, remaja banyak menggunakan teknologi untuk belajar maupun hiburan. Contoh: internet memiliki fasilitas yang menwarkan berbagai informasi yang dapat diakses secara langsung.

Nilai positifnya, ketika remaja atau siswa mencari bahan pelajaran yang mereka butuhkan mereka dapat mengaksesnya dari internet. Namun internet juga memiliki nilai negative seperti tersedianya situs porno yang dapat merusak moral remaja. Apalagi pada masa remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar dan sangat rentan terhadap informs seperti itu. Mereka belum bisa mengolah pikiran secara matang yang akhirnya akan menimbulkan berbagai tindak kejahatan seperti pemerkosaan dan hamil di luar nikah/hamil usia dini.

Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki budi luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku terpuji. Sebaliknya individu yang tumbuh dan berkembang dengan kondisi psikologis yang penuh dengan konflik, pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang tidak berimbang dan kurang religius maka harapan agar anak dan remaja tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, dan sikap perilaku terpuji menjadi diragukan.

Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nlai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan nilai moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Menurut Adamm dan Gullotta, terdapat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang tua mempengaruhi nilai remaja, yaitu sebagai berikut :

  1. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja dengan tingkat moral orangtua.
  2. Ibu-ibu remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar moralnya daripada ibu-ibu yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal mempunyai skor lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya daripada remaja yang nakal.
  3. Terdapat dua faktor yang  dapat meningkatkan perkembangan moral anak atau remaja, yaitu: orangtua yang mendorong anak untuk berdiskusi secara demokratik dan terbuka mengenai berbagai isu, dan orangtua yang menerapkan disiplin terhadap anak dengan teknik berpikir induktif.



Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak, diantaranya  sebagai berikut :

  1. Konsisten dalam mendidik anak

Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan pada waktu lain.

  1. Sikap orangtua dalam keluarga

Secara tidak langsung, sikap orang tua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi) Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggungjawab dan kurang memperdulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis).

  1. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut

Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religious (agamis), dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.

  1. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma

Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari prilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua mengajarkan kepada anak, agar berprilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggungjawab atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidakkonsistenan orangtua itu sebagai alas an untuk tidak melakukan apa yang diinginkan orangtuanya, bahkan mungkin dia akan berprilaku seperti orangtuanya.



  1. Perbedaan Individu dalam Nilai, Moral, dan sikap.

Sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu kelompok masyarakat sosial tertentu belum tentu dinilai positif oleh kelompok masyarakat lain. Sama halnya, sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu keluarga tertentu belum tentu dinilai positif oleh keluarga lain. Ada suatu keluarga yang mengharuskan para anggota berpakaian muslimah dan sopan karena cara berpakaian seperti itulah dipandang bernilai dan bermoral. Akan tetapi, ada keluarga lain yang lebih senang dan memandang lebih bernilai jika anggotanya berpakaian modis, trendi, dan mengikuti tren mode yang sedang merak dikalangan selebritis.

Setiap individu mempunyai perbedaan dalam menyikapi nilai, moral dan sikap, tergantung dimana individu tersebut berada. Pada anak-anak terdapat anggapan bahwa aturan-aturan adalah pasti dan mutlak oleh karena diberikan oleh orang dewasa atau Tuhan yang tidak bisa diubah lagi (Kohlberg, 1963). Sedangkan pada anak-anak yang berusia lebih tua, mereka bisa menawar aturan-aturan tersebut kalau disetujui oleh semua orang.

Pada sebagian remaja dan orang dewasa yang penalarannya terhambat, pedoman mereka hanyalah menghindari hukuman. Sedangkan untuk tingkat kedua sudah ada pengertian bahwa untuk memenuhi kebutuhan sendiri seseorang juga harus memikirkan kepentingan orang lain. Perbedaan perseorangan juga dapat dilihat pada latar belakang kebudayaannya. Jadi, ada kemungkinan terdapat individu atau remaja yang tidak mencapai perkembangan nilai, moral dan sikap serta tingkah laku yang diharapkan padanya.

Oleh sebab itu, hal yang wajar jika terjadi perbedaan individual dalam suatu keluarga atau kelompok masyarakat tentang sistem nilai, moral, maupun sikap yang dianutnya. Perbedaan individual didukung oleh fase, tempo, dan irama perkembangan masing-masing individu. Dalam teori perkembangan pemikiran moral dari Kohlberg juga dikatakan bahwa setiap individu dapat mencapai tingkat perkembangan moral yang paling tinggi, tetapi kecepatan pencapaiannya juga ada perbedaan antara individu satu dengan lainnya meskipun dalam suatu kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, sangat dimungkinkan individu yang lahir pada waktu yang relatif bersamaan, sudah lebih tinggi dan lebih maju tingkat pemikirannya.     



  1. Upaya Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Seperti Implikasinya bagi Pendidikan

Suatu sistem sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan sikap kepada anak adalah keluarga. Ini didorong oleh keinginan dan harapan orang tua yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan perilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua, masyarakat sekitar, dan agama. Melalui proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang diharapkan.

Perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Tidak semua individu mencapai pengembangan nilai-nilai hidup, perkembangan moraldan tingkah laku seperti yang diharapkan. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai,moral dan sikap remaja adalah berikut:

  1. Menciptakan komunikasi.

Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral. Tidak hanya memberikan evaluasi, tetapi juga merangsang anak tersebut supaya lebih aktif dalam beberapa pembicaraan dan pengambilan keputusan. Di lingkungan keluarga, teman sepergaulan, serta organisasi atau kelompok. Sedangkan disekolah misalnya anak diberi kesempatan untuk kerja atau diskusi kelompok. Sehingga anak berperan secara aktif dalam tanggung jawab dan pengambilan keputusan. Anak tidak hanya harus mendengarkan tetapi juga harus dirangsang agar lebih aktif. Misalnya mengikutsertakan ia dalam pengambilan keputusan di keluarga dan pemberian tanggung jawab dalam kelompok sebayanya. Karena nilai-nilai kehidupan yang dipelajari barulah betul-betul berkembang apabila telah dikaitkan dalam konteks kehidupan bersama.

  1. Menciptakan iklim lingkungan yang serasi.

Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu, dan moral dan kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan secara positif,jujur dan konsekuen dalam tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup tersebut.

Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan suatu pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri. Pedoman ini untuk menumbuhkan identitas diri,kepribadian yang matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik yang selalu terjadi di masa ini. Nilai nilai keagamaan perlu mendapat perhatian, karena agama juga mengatur tingkah laku baik buruk. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu lingkungan yang lebih bersifat mengajak, mengundang, atau member kesempatan akan lebih efektif daripada lingkungan yang ditandai dengan adanya larangan- larangan yang bersifat serba membatasi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUBUNGAN SEKOLAH DENGAN MASYARAKAT

Pendekatan Ekspository dan Heuristik

“MODEL PEMBELAJARAN INDUKTIF”